KUNJUNGAN INDUSTRI SISWA SMKN 1 JABON
KRIA KULIT 2014
1. INTAKO TANGGULANGIN
2. MIRROTA SURABAYA
3. TAMAN BUNGKUL SURABAYA
Sebagian produk yang di panjang di showroom Intako
Sebagian Siswa Kria Kulit Selfie di depan produk di Intako
SEJARAH SINGKAT KOPERASI INTAKO
Sejarah panjang Sentra Produksi Tas dan Koper Tanggulangin (selanjutnya
disebut "Sentra Tanggulangin") dimulai sejak tahun 60-an, semenjak
beberapa orang menjadi kuli (tenaga lepas) yang membantu proses
pembuatan koper di Surabaya. Selanjutnya munculnya tenaga- tenaga
trampil yang mampu membuat koper sendiri di suatu desa namanya Kedensari
Kecamatan Tanggulangin. Saat itu koper yang dibuat dari bahan karton
tebal dan dilapisi kulit sapi yang diproses sederhana (kulit nabati)
yang dipres menggunakan lem kanji (sumber: Alm. H. Abd. Rochman, pelopor
Sentra Tanggulangin).
Semenjak tumbangnya orde lama oleh orde
baru hingga pertengahan tahun 70-an, beberapa tenaga trampil di desa
Kedensari kebanjiran order dari para Juragan (rata-rata Etnis Tionghoa)
di Surabaya. Munculnya tenaga-tenaga trampil baru sebagai akibat
banyaknya order tersebut. Namun disaat tertentu atau karena situasi
politik dan keamanan saat itu order benar-bener sepi. Munculnya sebuah
ide untuk mendirikan suatu organisasi usaha yang didirikan beberapa
orang, dengan usaha baru ini area penjualan hasil produksi tidak hanya
ke Surabaya saja, mulai merambah Semarang, Jogjakarta, Bandung dan
Jakarta. Pada tahun 1975 organisasi usaha ini mengalami kebangkrutan
karena salah kelolah.
Pada tahun 1976 sebagian orang pendiri organisasi yang ambruk tersebut ditambah orang baru, hingga berkumpul 6 orang orang bersepakat untuk mendirikan sebuah Koperasi Industri Tas dan Koper (INTAKO). Koperasi ini adalah cikal bakal Sentra Industri Tas dan Koper di desa Kedensari Tanggulangin. Tahun 80-an dengan dukungan Pemerintah sejumlah mesin-mesin produksi, pelan tapi pasti Koperasi INTAKO mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Munculnya sebuah ide dari masyarakat pengerajin atas ramainya kunjungan konsumen ke INTAKO, yaitu dengan memdirikan toko-toko/showroom hasil produksi mereka sendiri. Hingga tahun 2000 telah muncul sekitar 250 toko sepanjang 2,5 km jalan sampai menuju Showroomnya INTAKO.
Diawal-awal krisis ekonomi 1998, Sentra Tanggulangin justru mendapat keuntungan banyaknya pembeli dari Kalimantan, Sumatra dan Sulawes manjadi reseller produk Tanggulangin hingga tahun 2001. Tahun 2002 mulai terjadi kontraksi bahkan penurunan daya beli karena mahalnya bahan baku akibat kenaikan BBM bertahap pada Pemerintahan Megawati. Hingga pada Rezim SBY-JK kenaikan BBM lebih dari 100% pada tahun 2005, pasar sangat lesu akibat mahalnya bahan baku dan turunnya daya beli masyarakat. Keadaan jatuh dan banyak yang bangkrut ditambah lagi kejadian luar biasa dan amat mengejutkan yaitu meluapnya Lumpur Lapindo dibulan mei akhir tahun 2006. Satu tahun Lumpur Lapindo telah menyebabkan sepinya pengunjung karena akses jalan Tol Porong-Gempol terputus dan Jalan Arteri Porong setiap hari macet 2 jam lebih. Ibaratkan Sentra Tanggulangin "HABIS JATUH TERTIMPA TANGGA PULA".
3,5 tahn Lumpur Lapindo dengan semangat dan kerja kerja pengerajin sudah mulai bangkit walaupun sangat sedikit bantuan dari Pemerintah Daerah. Hingga saat ini akses Tol belum selesai dibangun dan akses Porong masih macet. Sebuah pilihan hidup, Sentra Tanggulangin benar-benar nyata bahwa UKM tahan terhadap krisis dan ketidak perhatian Pemerintah. Harapan semua atas sejarah panjang Sentra Tanggulangin menjadi penyemangat bagi stakeholder di Tanggulangin. Perlu upaya yang serius dari Pemerintah atas banyaknya barang selundupan dan ilegal yang masuk, sehingga memukul produsen kecil di Sentra Tanggulangin dan sentra-sentra lain di Indonesia.
Pada tahun 1976 sebagian orang pendiri organisasi yang ambruk tersebut ditambah orang baru, hingga berkumpul 6 orang orang bersepakat untuk mendirikan sebuah Koperasi Industri Tas dan Koper (INTAKO). Koperasi ini adalah cikal bakal Sentra Industri Tas dan Koper di desa Kedensari Tanggulangin. Tahun 80-an dengan dukungan Pemerintah sejumlah mesin-mesin produksi, pelan tapi pasti Koperasi INTAKO mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Munculnya sebuah ide dari masyarakat pengerajin atas ramainya kunjungan konsumen ke INTAKO, yaitu dengan memdirikan toko-toko/showroom hasil produksi mereka sendiri. Hingga tahun 2000 telah muncul sekitar 250 toko sepanjang 2,5 km jalan sampai menuju Showroomnya INTAKO.
Diawal-awal krisis ekonomi 1998, Sentra Tanggulangin justru mendapat keuntungan banyaknya pembeli dari Kalimantan, Sumatra dan Sulawes manjadi reseller produk Tanggulangin hingga tahun 2001. Tahun 2002 mulai terjadi kontraksi bahkan penurunan daya beli karena mahalnya bahan baku akibat kenaikan BBM bertahap pada Pemerintahan Megawati. Hingga pada Rezim SBY-JK kenaikan BBM lebih dari 100% pada tahun 2005, pasar sangat lesu akibat mahalnya bahan baku dan turunnya daya beli masyarakat. Keadaan jatuh dan banyak yang bangkrut ditambah lagi kejadian luar biasa dan amat mengejutkan yaitu meluapnya Lumpur Lapindo dibulan mei akhir tahun 2006. Satu tahun Lumpur Lapindo telah menyebabkan sepinya pengunjung karena akses jalan Tol Porong-Gempol terputus dan Jalan Arteri Porong setiap hari macet 2 jam lebih. Ibaratkan Sentra Tanggulangin "HABIS JATUH TERTIMPA TANGGA PULA".
3,5 tahn Lumpur Lapindo dengan semangat dan kerja kerja pengerajin sudah mulai bangkit walaupun sangat sedikit bantuan dari Pemerintah Daerah. Hingga saat ini akses Tol belum selesai dibangun dan akses Porong masih macet. Sebuah pilihan hidup, Sentra Tanggulangin benar-benar nyata bahwa UKM tahan terhadap krisis dan ketidak perhatian Pemerintah. Harapan semua atas sejarah panjang Sentra Tanggulangin menjadi penyemangat bagi stakeholder di Tanggulangin. Perlu upaya yang serius dari Pemerintah atas banyaknya barang selundupan dan ilegal yang masuk, sehingga memukul produsen kecil di Sentra Tanggulangin dan sentra-sentra lain di Indonesia.
SEJARAH SINGKAT TAMAN BUNGKUL SURABAYA
Belum banyak yang tahu taman yang diresmikan revitalisasinya tanggal 21
Maret 2007 itu mempunyai sejarah legendaris di kota ini. Area seluas 900
meter persegi yang dibangun dengan dana sekitar 1,2 Milyar berasal dari
sebuah desa terkenal, yaitu desa bungkul. Bentuk Desa Bungkul masih
ditemukan di peta Surabaya terbitan 1872. Bahkan dalam peta Surabaya
1900, desa ini tampak luas dan dipenuhi sawah di bagian barat.
Perkampungannya berada di sisi timur Kalimas. Batas selatan desa adalah
di persimpangan jalan Marmoyo sekarang,
batas sebelah timur di Jl Adityawarman sekarang, dan sebelah utara
dibatasi dengan kampung Dinoyo. Ada nama Desa Darmo di utara Desa
Bungkul saat itu. Konon desa Bungkul ini terkenal dengan sosok
spiritualnya, yang bernama Sunan Bungkul.
Siapa Sunan Bungkul itu?
Siapa Sunan Bungkul itu?
Nama Mbah Bungkul ditemukan di Babad Ngampeldenta terbitan 2 Oktober
1901 yang naskah aslinya terdapat di Yayasan Panti Budaya Jogjakarta.
Selain itu, juga ada Babad Risakipun Majapahit Wiwit Jumenengipun Prabu
Majapahit Wekasan Dumugi Demak Pungkasan yang disimpan di Perpustakaan
Reksopustoko Surakarta.
Sulitnya menemukan sosok ini bahkan dibenarkan sejarahwan mendiang GH
Von Faber pada bukunya Oud Soerabaia, terbitan 1931. Faber mencatat
kesan Bungkul dalam bahasa Belanda yang kira-kira terjemahannya
demikian: Orang-orang tua melarang menceritakan apa pun tentang Bungkul
ini. Pelanggaran terhadap larangan itu pasti diganjar hukuman. Si
pelanggar akan diancam oleh jin, diisap darahnya oleh kelelawar,
lehernya dipelintir dan sebagainya, demikian pula ibu, istri, dan
anak-anaknya akan mendapatkan celaka. Masih banyak ancaman mengerikan
yang ditulis Von Faber.
Saat
ini, penjelasan paling banyak bahwa sosok ini adalah keturunan Ki Gede
atau Ki Ageng dari Majapahit. Kompleks makam ini eksotis. Di dalamnya
masih tersisa suasana Kampung Bungkul di tengah kota yang sibuk. Ada
gapura ala Majapahit, terdapat mushala lama, gazebo bersosoran rendah.
Belasan makam lain berada di bawah rerimbunan pohon-pohon tua.
Tidak ditemukan kisah yang sahih. Yang bisa di lakukan hanyalah
mengumpulkan kepingan-kepingan kisah tentang sosok ini dari beberapa
catatan lama itu sekalipun itu juga masih bisa diperdebatkan.
Selain
di Taman Bungkul, sejumlah makam pengikut Bungkul banyak tersebar di
kawasan Darmo. Sebagian sudah tergusur, beberapa masih bertahan. Salah
satunya di temukan ‘tercecer’ di depan Kantor Kecamatan Tegalsari Jl.
Tanggulangan, sekitar 100 meter dari Jl. Raya Darmo atau 300 meter
sebelah utara makam Mbah Bungkul. Namanya makam Mbah Kusir, diyakini
kusirnya Mbah Bungkul.
***
***
Awalnya Mbah Bungkul bernama Ki Ageng Supa. Sewaktu masuk Islam,
berganti menjadi Ki Ageng Mahmuddin. Ia diperkirakan hidup di masa Sunan
Ampel pada 1400-1481. Supa mempunyai puteri Dewi Wardah.
Sahibul hikayat, Supa ingin menikahkan puterinya. Namun ia belum
mendapatkan sosok yang diharapkan. Lalu Supa mengambil delima dari
kebunnya dan bernazar, siapa pun lelaki yang mendapatkan buah ini, akan
saya jodohkan dengan anakku, nazarnya.
Delima itu dihanyutkan ke Sungai Kalimas yang mengalir ke utara. Alur
air sungai ini bercabang di Ngemplak menjadi dua. Di percabangan kiri
menuju Ujung dan ke kanan menjadi kali Pegirikan. Tampaknya delima itu
`berenang` ke kanan. Karena suatu pagi santri Sunan Ampel yang mandi di
Pegirikan Desa Ngampeldenta, menemukan delima itu.
Sang santri pun menyerahkannya ke Sunan Ampel. Oleh Sunan Ampel delima
itu disimpan. Besoknya, Supa menelusuri bantaran Kalimas. Sesampainya di
pinggiran, ia melihat banyak santri mandi di sungai. Supa, yakin
disinilah delima itu diselamatkan oleh salah satu di antaranya. Apakah
ada yang menemukan delima, tanya Supa setelah bertemu Sunan Ampel. Raden
Paku, murid Sunan Ampel dipanggil dan mengaku. Singkat cerita Raden
Paku dinikahkan dengan anak Supa
Sebagian guru lagi berpose di TAMAN BUNGKUL SURABAYA ( Solikhuddin. S, Hum, Angga Setiawan, Yuniar Fitri)
Sebagian guru lagi berpose di TAMAN BUNGKUL SURABAYA ( Rizky Indah , Angga Setiawan, Yuniar Fitri)
pak Angga dan Bu Rizky lagi cari makan
Sebagian siswa di taman bungkul surabaya
SEJARAH MIRROTA SURABAYA
Memasuki gedung empat lantai yang terletak di Jl. Sulawesi No 24, suasana tradisional dominan. Didampingi
oleh musik Jawa ringan, pengunjung dapat memilih aneka batik dan
kerajinan tradisional dari dalam negeri maupun dari luar negeri yang
berada di lantai dasar.
Sementara di lantai dua, ada aneka anyaman, tembikar, keramik, lukisan, dan barang antik. Di lantai tiga, pengunjung dapat memilih berbagai macam furniture (kayu jati) dari Pasuruan dengan harga murah. Selain itu terdapat pula seperti koin dan uang kertas. Salah satu fasilitas unik di Mirota adalah Bursa Toko Buku, semacam toko buku.
Sementara di lantai dua, ada aneka anyaman, tembikar, keramik, lukisan, dan barang antik. Di lantai tiga, pengunjung dapat memilih berbagai macam furniture (kayu jati) dari Pasuruan dengan harga murah. Selain itu terdapat pula seperti koin dan uang kertas. Salah satu fasilitas unik di Mirota adalah Bursa Toko Buku, semacam toko buku.
Dengan
harga mulai ribuan rupiah sampai puluhan juta rupiah, Mirota berdiri
untuk menyediakan berbagai kerajinan lainnya dari negara-negara Asia
Tenggara.
Sebagian produk Kria Keramik yang dipajang di Mirotta Surabaya
Sebagian Produk Kria Tekstiel Di Mirrota Surabaya
sebagian Produk Kria Keramik di Mirrota Surabaya
Sebagian Siswa berpose di depan Mirota
mudah mudahan kunjungan ini membawa inspirasi dan motifasi bagi siswa agar lebih baik dalam berkreasi dan
0 komentar:
Posting Komentar